Syukur untuk Semua

James Coleman on Unsplash

Kita terkadang lupa bahwa segala bentuk kebaikan yang kita terima dirancang oleh yang Maha Kuasa. Tugas kita berpikir untuk tumbuh, merancang timeline dan bergerak maksimal, dan -bagian paling penting- siap menerima apapun hasil akhirnya.

Takdir selalu punya caranya sendiri untuk membahagiakan atau mengecewakan seseorang. Namun, kita tidak bisa apa-apa jika apa yang kita harap tidak sesuai doa-doa yang dipanjatkan. Kau menginginkan sesuatu yang kau anggap terbaik. Lalu, kenyataannya kau menerima sesuatu hal lain yang menurutmu buruk, tapi di mata Tuhan itu adalah takdir terbaik.

Manusia selalu punya cara untuk menyalahkan keadaan saat ia buntuk dan terhimpit jalan keluar. Mengeluh sepanjang waktu dan sibuk menyerang apa dan siapa saja yang memperhambat keinginannya. Manusia malas menunjuk dirinya sendiri jika berhadapan dengan kegagalan. Ia juga menuduh Tuhan sudah berlaku tidak adil untuk semua kemalangan. Sebaliknya, saat meraih yang diidamkan syukurnya tipis atau nyaris mustahil diucapkan.

Dan aku manusia juga yang terkadang merasa risau pada masa depan. Padahal Tuhan sudah menegaskan tugasmu adalah hidup di hari ini dan merayakan kegembiraan dan kesedihan dengan cara yang sama. Di masa depan akan banyak hal yang menunggu jika sabarmu dan upayamu terlaksana dengan baik. Tuhan ingin melihat seberapa konsisten hambanya mengangkat tangan dan meminta.

Sebelum berangkat tidur, kita selalu menitipkan harapan bahwa hari besok saat mata terbuka kembali akan ada kabar gembira menyambut. Saat pagi, doa itu belum terkabul. Hati kembali janggal karena rasa sabar itu kita batasi. Padahal sabar tidak ada batasnya, jika ia terpotong oleh hati yang dongkol kita tidak memiliki kesabaran itu. Aku tidak punya pembelaan apa-apa perihal sabar. Aku sendiri terkadang tidak memilikinya. Inginnya tergesa-gesa. Namun, sedikit demi sedikit belajar jika tidak semuanya bisa terwujud. Ada yang benar-benar tidak terwujud. Ada yang terwujudnya terlambat.

Aku berkelahi dengan diriku sendiri. Perang batin itu memang menyiksa. Karena aku harus bertarung dan memenangkan salah satu dari akal dan perasaanku. Akan ada yang terluka dan menyesal di belakang. Itu risiko yang mesti dirangkul. Maka dari itu aku selalu mengajari diri sendiri untuk mau menerima apa saja yang sudah digariskan buatku tanpa banyak protes.

Jogja, Juli 2023