Andalan

Kuala Lumpur dan Malioboro

Bagian 1

Kuala Lumpur, 2016 (Fandi)

Di atas bis aku mengalami rasa was-was yang cukup serius. Hal tersebut tidak bisa membuatku menutup mata meski hanya sebentar. Mesin pendingin di dalam bis semakin mencengkram hingga ke tulang. Kulirik jam yang ada di ponsel. Sebentar lagi menuju pukul sebelas malam. Aku khawatir tidak sempat mengejar. Ini salahku sendiri. Perhitungan yang sudah kususun rapi menjadi berantakan. Aku tidak memprediksi hal seperti ini bisa terjadi. Aku kehilangan banyak waktu. Bis yang aku tumpangi baru saja masuk ke dalam tol. Jika tak meleset, pukul setengah tiga mestinya bis akan tiba di Terminal Bersepadu Selatan, Kuala Lumpur. Semoga terkejar.

Aku memutuskan untuk berangkat ke Kuala Lumpur selepas isya. Jika berhasil tiba di Kuala Lumpur, maka ini merupakan catatan pertamaku melakukan perjalanan mandiri ke Kuala Lumpur menggunakan bis. Saat malam pula. Berbekal informasi yang sebenarnya agak sulit kucerna dari beberapa orang yang kutanyai.

Tujuan utamaku adalah Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Aku hendak mengejar penerbangan pertama besok menuju Bandung. Aku diberi informasi jika naik bis dari terminal Tun Aminah, Johor Bahru, tersedia bis yang akan langsung menuju ke bandara. Dari informasi yang kupercaya mentah-mentah itu akhirnya aku tidak menyiapkan rencana-rencana cadangan. Aku tiba di terminal Tun Aminah sekitar pukul sembilan malam. Terminal cukup padat.

“Langsung ke KLIA, ada kak?” Mukaku kuarahkan ke kaca yang membatasi dengan petugas loket.

Sorry, Bang. Bus ke KLIA tak ade malam ni. Last bus berangkat pukul lima petang tadi.” Petugas loket menyampaikan informasi yang begitu cepat langsung memicu jantungku berdetak kuat.

Bus ke KL?” Tak ingin kehilangan harapan aku tetap harus memburu tiket menuju Kuala Lumpur malam ini juga.

Ade. Bergerak at ten pm.”

Transaksi tiket seharga 35 ringgit. Aku menuju ke platform tempat bis terparkir. Aku kebagian bangku nomor 12 yang bersebelahan langsung dengan jendela. Aku cukup cemas. Bagaimana caranya aku bisa sampai ke bandara? Kenapa informasi mengenai jam keberangkatan bus menuju bandara tidak aku dapatkan secara rinci? Seharusnya aku menggali informasi lebih banyak lagi. Atau paling tidak selepas magrib tadi aku sudah berada di terminal. Aku terlalu menyepelekan.

Pukul 10.15 bis melaju meninggalkan terminal Tun Aminah. Ada perasaan cukup lega karena jam karet bis tidak terlalu panjang.

***

Malioboro, 2016 (Nimah)

Malam ini Malioboro ramai sekali. Orang-orang yang bukan orang Jogja senang menghabiskan waktu ke tempat ini. Katanya kalau ke Jogja tidak ke Malioboro belum resmi menginjakkan kaki ke Jogja. Padahal Jogja bukan cuma Malioboro. Masih ada Keraton Jogja atau Taman Sari buat tahu sejarah Kesultanan Jogja. Aku duduk berdua bareng Dini di depan mini market. Selepas isya tadi kami keluar dari asrama. Sejak pagi Dini sudah menodongku untuk jalan-jalan ke Malioboro.

Dia bosan di asrama. Katanya butuh hiburan hemat. Meski terpaksa, aku kasih syarat ke Dini. Aku cuma ingin berangkat kalau tujuannya di sekitaran Malioboro dan tidak lebih dari pukul 9 malam sudah harus ada di asrama lagi. Aku ingin cepat tidur malam ini dan bisa bangun di sepertiga malam untuk murojaah. Sejak empat tahun lalu saya sudah menitip target kepada diri sendiri untuk lebih dulu wisuda Tahfidz Al-Qur’an daripada wisuda sarjana di auditorium kampus.

Aku dan Dini sudah berteman sejak di hari pertama kuliah. Dia perantau dari Palembang, sementara aku orang Jogja asli. Kami berdua sama-sama masuk ke kampus jalur beasiswa berprestasi bermodalkan hapalan 8 juz. Semenjak itu kami sama-sama berjuang untuk bisa ke garis akhir di juz 30 sebelum gelar sarjana ada di belakang nama kami nantinya.

Semenjak semester 6 aku dan Dini diminta untuk menjadi guru tahfidz untuk asrama perempuan di salah satu sekolah yayasan kampus kami. Masuk ke sana cukup sulit karena minimal punya hapalan 20 juz. Setelah serangkaian ujian baca al-qur’an dan hadis, kami diterima secara bersamaan. Tugas kami mengasuh adik-adik di asrama untuk bisa mengejar 10 juz sebelum tamat kelas XII.

Suaraku tidak sebagus Dini saat tilawah. Dia pernah dua kali mewakili provinsinya untuk lomba MTQ tingkat Nasional. Aku selalu senang jika Dini mengaji di kamar. Suaranya menembus hingga ke lorong-lorong jiwa yang membuat tenang. Tapi dia juga galak jika sudah berhadapan dengan para santri yang sedang setor hapalan. Aku kebalikannya jauh lebih kalem.

“Mah, sebenarnya aku ajak kamu keluar karena ada yang pengen aku cerita,” Dini membuka obrolan setelah aku membalas pesan dari Ibu di rumah.

“Apa? Kenapa gak di kamar aja?”

“Bisa aja sih ngomong di kamar. Tapi ngomong di tempat ramai kayak gini yang sedang aku pengen.”

Yo, wes. Ceritalah.” Kataku.

“Dua hari lalu Ibu menelpon.” Dini menggeser duduk lebih rapat denganku agar suaranya bisa terdengar jelas. “Ada yang datang ke rumah. Mau melamar. Aku kenal orangnya. Tapi aku gak tertarik. Tepatnya belum mau menikah sebelum urusan sekolahku dan target 30 juz khatam.”

“Ya ditolak saja. Gampang toh!”

“Pengennya begitu. Tapi Ibu bilang laki-laki itu mau menunggu sampai urusanku di Jogja selesai. Setelah itu pulang ke Palembang dan pernikahan digelar.” Dini merapatkan kedua telapak tangannya ke muka.

“Bilang aja kamu ada calon lain di Jogja.”

“Mana berani aku.” Mata Dini sekarang sedang menatapku. Pandangan itu jelas-jelas menolak usulku.

“Terus bagaimana?” Aku juga tidak tahu harus memberi saran apa. Aku saja sudah tidak punya jalan keluar untuk menolak lamaran Mas Tangguh yang sudah datang berkali-kali menemui Bapak dan Ibu di rumah.

“Gak tahu. Sudahlah. Dipikir besok lagi. Kita pulang aja.”

Aku berdiri mengikuti Dini yang sudah tidak banyak bicara lagi. Kami menyusuri jalan Malioboro yang semakin malam semakin ramai pendatang. Tiga puluh menit lagi gerbang asrama akan ditutup. Tiba di kamar aku pamit tidur duluan ke Dini.

Kuala Lumpur, 2016 (Fandi)

Pukul 02.05 dini hari bis keluar dari tol. Jalanan kota Kuala Lumpur cukup sepi. Hanya satu dua kendaraan yang sempat terlihat sesekali. Gedung-gedung pencakar langit di luar sana begitu kedinginan diserang hawa dini hari. Tetapi mereka tetap kokoh menjulang. Berdiri kuat.

Bis tiba di Terminal Bersepadu Selatan. Pertama kalinya berada di tempat ini membuat aku cukup kebingungan. Ditambah lagi aku harus bertarung dengan waktu. Pesawat yang akan membawaku ke Bandung berangkat pukul 06.15.

Loket tiket yang berjejer panjang membuatku tidak terlalu kesulitan mencari. Tak ada kesempatan untuk menyandarkan badan. Di bis tadi aku tidak bisa tidur pulas. Aku was-was tidak bisa mengejar pesawat tepat waktu.

To airport, please.” Petugas perempuan yang berada di balik kaca loket tersentak mendengar suaraku yang agak parau diikuti napas yang sedikit terburu-buru.

First bus at three o’clock, Bang.” Matanya yang sedikit meredup melawan kantuk melayaniku dengan cukup ramah.

Aku langsung diminta menuju ruang tunggu keberangkatan oleh petugas loket. Isi terminal cukup luas dan tidak terlampau ramai. Beberapa bangku yang memanjang dikuasai penuh orang yang sedang terlelap.

Kurang dari 15 menit menunggu, bis yang siap menembus Kuala Lumpur yang senyap menuju bandara. Aku tidak sendirian. Ada beberapa orang yang ikut. Tidak ada tenang di dalam kepala. Aku tak bisa menebak dengan pasti lama waktu yang dibutuhkan untuk tiba di terminal bandara. Sepanjang perjalanan rasa kantuk tidak ada sama sekali.

Perjalanan ternyata membutuhkan waktu sekitar satu jam. Kegelisahanku mulai mereda. Setidaknya aku punya satu jam lebih untuk check in. Ini pertama kaliku melakukan penerbangan secara mandiri di tingkat internasional. Beberapa bulan yang lalu aku memang pernah berada di bandara ini. Tapi itu bersifat transit dan tidak sendiri. Ketika itu segala sesuatunya dibantu oleh pihak penyedia jasa perjalanan. Aku cuma tahu beres saja.

KLIA sangat luas. Jalur menuju loket check in cukup jauh dari tempat aku turun dari bis. Aku bertanya ke putugas yang berjaga agar diarahkan ke tempat yang tepat. Bandara sedang sepi. Penerbangan pagi sepertinya bukan favorit banyak orang kecuali mereka yang sedang diburu agenda penting.

Bertanya sana sini dengan respon Bahasa Melayu memang cukup merepotkan. Aku cukup tertolong jika mengutarakan maksud dengan Bahasa Inggris. Petugas di bandara terlatih untuk berinteraksi dalam Bahasa Inggris.

Aku cukup check in di loket mesin. Bawaanku hanya ransel jadi tidak butuh slot bagasi. Boarding 40 menit lagi. Aku sudah menunggu di gate F4. Sebuah pesan masuk di subuh yang dingin seperti ini.

Sudah di bandara?

***

Bersambung ke bagian 2. Kapan? Belum ada jadwal pasti. Ditunggu saja.