Lu Punya 12 Ribu, Lu Punya Kuasa

Hidup murah di Jogja tidak sepenuhnya salah. Budget 5 juta perbulan juga bisa bablas sebelum masuk tanggal muda. Ini masalah gaya hidup dan itu adalah pilihan. Menurut data dari okezone, Jogja menempati urutan pertama daerah termurah di Indonesia untuk hidup. Punya 1-1,5 juta perbulan sudah menyelamatkanmu dari kelaparan. Buat saya yang sudah hampir dua tahun menetap di Jogja, angka segitu memang akan cukup kalau dicukup-cukupkan kalau sekadar mengisi perut. Masalahnya hidup bukan sekadar mencukupi makan saja. Ada token listrik, ada uang sekolah anak, ada anggaran healing tipis-tipis di taman kuliner jantung kota Wonosari, dan biaya pusing kepala lainnya. Saya dan istri harus menyiapkan dana di atas 2 juta untuk menjaga stabilitas rumah tangga perbulannya.

Untuk meminimalisir pengluaran anggaran, tentu kami berupaya selalu masak di rumah. Belanja bahan-bahan mentah yang tak jauh dari tempat tinggal. Selain sehat karena racikan bumbunya bisa terkontrol dengan baik, harga yang miring juga keuntungan utama kami sebagai pasangan yang hidup pay check to pay check. Kami juga punya anak kecil yang harus diperhatikan asupan gizinya. Memasak di rumah adalah kunci untuk menghindari timbulnya gejala stunting.

Secara spesifik saya tinggalnya di kabupaten Gunungkidul, masih cakupan provinsi DI Yogyakarta. Banyak yang tidak familiar memang. Orang-orang tahunya Sleman atau Bantul yang lebih popular. Gunungkidul sendiri berada di peringkat buncit untuk urusan UMR. Namun, masyarakat masih bisa menikmati pakan yang harganya menyesuaikan komposisi isi kantong.

Sebagai warga naturalisasi Gunungkidul dari Kabupaten Bantaeng di Sulawesi sana, saya cukup menikmati kuliner di sini. Meski harus bertoleransi dengan dominasi rasa manis di makanan-makanan berkuah semacam soto. Makanya di rumah saya lebih sering meracik sambal sendiri untuk memenuhi hastrat pedas yang melampaui lidah orang Jogja.

Hari ini semua guru di sekolah saya diminta menghabiskan waktu di rumah. Kegiatan pondok diambil alih orang para pengasuh. Saya ditugasi khusus oleh Ibuk Samitra untuk mengantar jemput Samitra ke dan dari sekolah. Samitra sekarang bukan lagi anggota PAUD. Ia sudah berstatus anak TK. Kegiatan di sekolahnya masih masa perkenalakan lingkungan belajar. Aktifitas hanya berkutat bermain seluncuran, bernyanyi, berdoa, atau mengasihani anak yang menangis karena pengantarnya tidak tinggal. Semuanya selesai kurang dari dua jam.

Untungnya Samitra tidak menawarkan drama harus ditunggu sampai jam sekolah selesai. Kejauhan jika harus pulang ke rumah dan nanti sebelum pukul sembilan harus menjemput lagi, dan sekarang sudah pukul tujuh lebih. Saya berangkat dari rumah dengan outfit lari. Sudah hampir sebulan saya tidak lari pagi.

Semakin panas dan tembus 5K, saya selesai. Samitra juga sudah rampung bersenang-senang di sekolah. Samitra kalau di rumah tidak bisa kalau kering dari makanan. Harus selalu sedia makanan ringan. Sebelum naik ke atas motor, ia meminta untuk beli kue dulu di warung dekat sekolahnya. Katanya mau makan puding telur.

Lapar mata akhirnya saya ikut ambil ini, ambil itu. Manis dan asin terkumpul di dalam wadah plastik. Samitra tetap pada komitmennya hanya pada puding telur. Ia tidak mau yang lain. Padahal ada donat kampung dan roti cokelat kegemarannya. Di kepala estimasi biaya tentu akan di atas 15k. Namun, begitu mbak penjual menyebut angka ternyata meleset dari pagu yang sudah saya perkirakan. Hanya 12 ribu rupiah untuk delapan biji kue. Berarti rata-rata harga kuenya ada di kisaran 1.500 rupiah.

Di sepanjang perjalanan pulang saya sudah bersiasat untuk meracik kopi di dalam gelas besar. Pokoknya tahan sampai sore. Kemudian dipungkasi dengan kue-kue yang baru saja saya beli ini. Terakhir, tentu saja, membuat tulisan ini.

Jogja, Juli 2023

Tinggalkan komentar