Kabar dari Johor Bahru

my fellow teachers in Johor Bahru

Saya selalu punya keinginan untuk menceritakan seluruh kehidupan saya menjadi guru di Johor Bahru, Malaysia. Tentu tidak semua hal bisa saya tumpahkan karena ada cerita yang seru, monoton, dan yang tidak perlu dibagikan karena sifatnya internal.

Sebelum beranjak tua dan banyak ingatan tentang periode lima tahun itu pudar memang sebaiknya harus mulai saya tulis. Jika memungkinkan saya bagikan secara luas. Saya teringat di minggu terakhir sebelum pulang for good, Pak Andri menantang saya untuk menulisan kisah saya dan Johor Bahru. Sebagai tanda bukti waktu dan kontribusi saya di sana sangat nyata dan bermanfaat untuk anak-anak Indonesia yang menjadi murid saya. Ketika itu saya memang hanya mengiyakan saja. Niat untuk menulisnya belum terkumpul semua. Antara mau dan tidak.

Ternyata malam ini setelah membaca ulang buku Everything in Between milik Marlies Fennema tentang petualangannya bersepeda dari Belanda ke Indonesia memantik hasrat saya untuk ‘bagaimana kalau hidup saya di Johor Bahru harus menjadi tulisan?’ Apa lagi saya sudah punya banyak tabungan tulisan tentang kegiatan saya selama di sana, baik itu yang ter-publish atau hanya mengendap di dalam laptop.

Mungkin cerita-cerita yang saya susun tidak akan runut sesuai timeline peristiwa itu terjadi. Saya akan menuliskannya secara lompat-lompat. Menyesuaikan kekuatan ingatan saya. Apa lagi sudah hampir dua tahun saya menyelesaikan masa bakti. Tentu saja ada puzzle di dalam kepala yang sudah tidak utuh lagi. 

Kabar dari Johor Bahru. Itu judul yang sudah saya persiapkan sejak 2019 lalu jika memang suatu hari nanti saya membuat buku lagi. Apakah itu judul yang bisa menggaet rasa penasaran pembaca? Saya tidak tahu, tapi paling tidak saya sudah menyiapkan hal tersebut sebagai pemantik awal agar saya mau menyelesaikan tugas menulis cerita-cerita tersebut. Jika belakangan menemukan judul yang lebih pas, mungkin saya akan menggantinya. Untuk sementara saya akan memakai ‘Kabar dari Johor Bahru’ sebagai judul utama.

Saya tak ada alternatif medium lain dalam bercerita selain tulisan. Saya tidak punya kemahiran merekam diri sendiri lalu bermonolog, kemudian mengedit video sedemikian rupa agar terlihat estetik. Pun kalau bisa perlu banyak waktu untuk membuat script, menghapalkannya, merekam, mengedit, lalu membagikannya. Bisa-bisa saya menyerah sebelum video pertama rampung. Maka dari itu saya lebih baik menulis saja karena itu kemampuan saya yang cukup terlatih.

Kisah tentang Johor Bahru bukan saja tentang pengabdian atau sebagai tugas negara. Ternyata di tengah-tengah perjalanan itu saya bertemu dengan seorang mahasiswa KKN yang kemudian menjadi istri saya. Hal tersebut membuat saya harus dinaturalisasi menjadi warga Jogja. Kisah ini sebaiknya menjadi tulisan panjang saja sebagai bagian dari cerita ‘Kabar dari Johor Bahru.’

Akhirnya tiba waktunya saya harus memulai menuliskan beragam cerita apa saja yang terjadi di Johor Bahru, utamanya di sekolah. Ini bukan kisah heroik yang berujung ada pemenang dan dielu-elukan namanya. Bisa dikatakan perjuangan saya di sana sebenarnya tidak tuntas. Masih banyak masalah yang belum tuntas. Tongkat estafet pengabdian harus diserahkan ke orang baru. Apa lagi kami terikat kontrak berbatas waktu.

Tentu tulisan-tulisan yang akan terbit tidak akan pasti datangnya. Sebab menulis ini bukan prioritas utama saya. Ia akan saya tulis jika ada waktu senggang dan teringat jika memang harus ditulis. Sebab tanggung jawab utama saya ada pada hal lain. Sedangkan menulis adalah cara saya melepas penat dan rumitnya isi kepala.