Andalan

Kuala Lumpur dan Malioboro

Bagian 1

Kuala Lumpur, 2016 (Fandi)

Di atas bis aku mengalami rasa was-was yang cukup serius. Hal tersebut tidak bisa membuatku menutup mata meski hanya sebentar. Mesin pendingin di dalam bis semakin mencengkram hingga ke tulang. Kulirik jam yang ada di ponsel. Sebentar lagi menuju pukul sebelas malam. Aku khawatir tidak sempat mengejar. Ini salahku sendiri. Perhitungan yang sudah kususun rapi menjadi berantakan. Aku tidak memprediksi hal seperti ini bisa terjadi. Aku kehilangan banyak waktu. Bis yang aku tumpangi baru saja masuk ke dalam tol. Jika tak meleset, pukul setengah tiga mestinya bis akan tiba di Terminal Bersepadu Selatan, Kuala Lumpur. Semoga terkejar.

Aku memutuskan untuk berangkat ke Kuala Lumpur selepas isya. Jika berhasil tiba di Kuala Lumpur, maka ini merupakan catatan pertamaku melakukan perjalanan mandiri ke Kuala Lumpur menggunakan bis. Saat malam pula. Berbekal informasi yang sebenarnya agak sulit kucerna dari beberapa orang yang kutanyai.

Tujuan utamaku adalah Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Aku hendak mengejar penerbangan pertama besok menuju Bandung. Aku diberi informasi jika naik bis dari terminal Tun Aminah, Johor Bahru, tersedia bis yang akan langsung menuju ke bandara. Dari informasi yang kupercaya mentah-mentah itu akhirnya aku tidak menyiapkan rencana-rencana cadangan. Aku tiba di terminal Tun Aminah sekitar pukul sembilan malam. Terminal cukup padat.

“Langsung ke KLIA, ada kak?” Mukaku kuarahkan ke kaca yang membatasi dengan petugas loket.

Sorry, Bang. Bus ke KLIA tak ade malam ni. Last bus berangkat pukul lima petang tadi.” Petugas loket menyampaikan informasi yang begitu cepat langsung memicu jantungku berdetak kuat.

Bus ke KL?” Tak ingin kehilangan harapan aku tetap harus memburu tiket menuju Kuala Lumpur malam ini juga.

Ade. Bergerak at ten pm.”

Transaksi tiket seharga 35 ringgit. Aku menuju ke platform tempat bis terparkir. Aku kebagian bangku nomor 12 yang bersebelahan langsung dengan jendela. Aku cukup cemas. Bagaimana caranya aku bisa sampai ke bandara? Kenapa informasi mengenai jam keberangkatan bus menuju bandara tidak aku dapatkan secara rinci? Seharusnya aku menggali informasi lebih banyak lagi. Atau paling tidak selepas magrib tadi aku sudah berada di terminal. Aku terlalu menyepelekan.

Pukul 10.15 bis melaju meninggalkan terminal Tun Aminah. Ada perasaan cukup lega karena jam karet bis tidak terlalu panjang.

***

Malioboro, 2016 (Nimah)

Malam ini Malioboro ramai sekali. Orang-orang yang bukan orang Jogja senang menghabiskan waktu ke tempat ini. Katanya kalau ke Jogja tidak ke Malioboro belum resmi menginjakkan kaki ke Jogja. Padahal Jogja bukan cuma Malioboro. Masih ada Keraton Jogja atau Taman Sari buat tahu sejarah Kesultanan Jogja. Aku duduk berdua bareng Dini di depan mini market. Selepas isya tadi kami keluar dari asrama. Sejak pagi Dini sudah menodongku untuk jalan-jalan ke Malioboro.

Dia bosan di asrama. Katanya butuh hiburan hemat. Meski terpaksa, aku kasih syarat ke Dini. Aku cuma ingin berangkat kalau tujuannya di sekitaran Malioboro dan tidak lebih dari pukul 9 malam sudah harus ada di asrama lagi. Aku ingin cepat tidur malam ini dan bisa bangun di sepertiga malam untuk murojaah. Sejak empat tahun lalu saya sudah menitip target kepada diri sendiri untuk lebih dulu wisuda Tahfidz Al-Qur’an daripada wisuda sarjana di auditorium kampus.

Aku dan Dini sudah berteman sejak di hari pertama kuliah. Dia perantau dari Palembang, sementara aku orang Jogja asli. Kami berdua sama-sama masuk ke kampus jalur beasiswa berprestasi bermodalkan hapalan 8 juz. Semenjak itu kami sama-sama berjuang untuk bisa ke garis akhir di juz 30 sebelum gelar sarjana ada di belakang nama kami nantinya.

Semenjak semester 6 aku dan Dini diminta untuk menjadi guru tahfidz untuk asrama perempuan di salah satu sekolah yayasan kampus kami. Masuk ke sana cukup sulit karena minimal punya hapalan 20 juz. Setelah serangkaian ujian baca al-qur’an dan hadis, kami diterima secara bersamaan. Tugas kami mengasuh adik-adik di asrama untuk bisa mengejar 10 juz sebelum tamat kelas XII.

Suaraku tidak sebagus Dini saat tilawah. Dia pernah dua kali mewakili provinsinya untuk lomba MTQ tingkat Nasional. Aku selalu senang jika Dini mengaji di kamar. Suaranya menembus hingga ke lorong-lorong jiwa yang membuat tenang. Tapi dia juga galak jika sudah berhadapan dengan para santri yang sedang setor hapalan. Aku kebalikannya jauh lebih kalem.

“Mah, sebenarnya aku ajak kamu keluar karena ada yang pengen aku cerita,” Dini membuka obrolan setelah aku membalas pesan dari Ibu di rumah.

“Apa? Kenapa gak di kamar aja?”

“Bisa aja sih ngomong di kamar. Tapi ngomong di tempat ramai kayak gini yang sedang aku pengen.”

Yo, wes. Ceritalah.” Kataku.

“Dua hari lalu Ibu menelpon.” Dini menggeser duduk lebih rapat denganku agar suaranya bisa terdengar jelas. “Ada yang datang ke rumah. Mau melamar. Aku kenal orangnya. Tapi aku gak tertarik. Tepatnya belum mau menikah sebelum urusan sekolahku dan target 30 juz khatam.”

“Ya ditolak saja. Gampang toh!”

“Pengennya begitu. Tapi Ibu bilang laki-laki itu mau menunggu sampai urusanku di Jogja selesai. Setelah itu pulang ke Palembang dan pernikahan digelar.” Dini merapatkan kedua telapak tangannya ke muka.

“Bilang aja kamu ada calon lain di Jogja.”

“Mana berani aku.” Mata Dini sekarang sedang menatapku. Pandangan itu jelas-jelas menolak usulku.

“Terus bagaimana?” Aku juga tidak tahu harus memberi saran apa. Aku saja sudah tidak punya jalan keluar untuk menolak lamaran Mas Tangguh yang sudah datang berkali-kali menemui Bapak dan Ibu di rumah.

“Gak tahu. Sudahlah. Dipikir besok lagi. Kita pulang aja.”

Aku berdiri mengikuti Dini yang sudah tidak banyak bicara lagi. Kami menyusuri jalan Malioboro yang semakin malam semakin ramai pendatang. Tiga puluh menit lagi gerbang asrama akan ditutup. Tiba di kamar aku pamit tidur duluan ke Dini.

Kuala Lumpur, 2016 (Fandi)

Pukul 02.05 dini hari bis keluar dari tol. Jalanan kota Kuala Lumpur cukup sepi. Hanya satu dua kendaraan yang sempat terlihat sesekali. Gedung-gedung pencakar langit di luar sana begitu kedinginan diserang hawa dini hari. Tetapi mereka tetap kokoh menjulang. Berdiri kuat.

Bis tiba di Terminal Bersepadu Selatan. Pertama kalinya berada di tempat ini membuat aku cukup kebingungan. Ditambah lagi aku harus bertarung dengan waktu. Pesawat yang akan membawaku ke Bandung berangkat pukul 06.15.

Loket tiket yang berjejer panjang membuatku tidak terlalu kesulitan mencari. Tak ada kesempatan untuk menyandarkan badan. Di bis tadi aku tidak bisa tidur pulas. Aku was-was tidak bisa mengejar pesawat tepat waktu.

To airport, please.” Petugas perempuan yang berada di balik kaca loket tersentak mendengar suaraku yang agak parau diikuti napas yang sedikit terburu-buru.

First bus at three o’clock, Bang.” Matanya yang sedikit meredup melawan kantuk melayaniku dengan cukup ramah.

Aku langsung diminta menuju ruang tunggu keberangkatan oleh petugas loket. Isi terminal cukup luas dan tidak terlampau ramai. Beberapa bangku yang memanjang dikuasai penuh orang yang sedang terlelap.

Kurang dari 15 menit menunggu, bis yang siap menembus Kuala Lumpur yang senyap menuju bandara. Aku tidak sendirian. Ada beberapa orang yang ikut. Tidak ada tenang di dalam kepala. Aku tak bisa menebak dengan pasti lama waktu yang dibutuhkan untuk tiba di terminal bandara. Sepanjang perjalanan rasa kantuk tidak ada sama sekali.

Perjalanan ternyata membutuhkan waktu sekitar satu jam. Kegelisahanku mulai mereda. Setidaknya aku punya satu jam lebih untuk check in. Ini pertama kaliku melakukan penerbangan secara mandiri di tingkat internasional. Beberapa bulan yang lalu aku memang pernah berada di bandara ini. Tapi itu bersifat transit dan tidak sendiri. Ketika itu segala sesuatunya dibantu oleh pihak penyedia jasa perjalanan. Aku cuma tahu beres saja.

KLIA sangat luas. Jalur menuju loket check in cukup jauh dari tempat aku turun dari bis. Aku bertanya ke putugas yang berjaga agar diarahkan ke tempat yang tepat. Bandara sedang sepi. Penerbangan pagi sepertinya bukan favorit banyak orang kecuali mereka yang sedang diburu agenda penting.

Bertanya sana sini dengan respon Bahasa Melayu memang cukup merepotkan. Aku cukup tertolong jika mengutarakan maksud dengan Bahasa Inggris. Petugas di bandara terlatih untuk berinteraksi dalam Bahasa Inggris.

Aku cukup check in di loket mesin. Bawaanku hanya ransel jadi tidak butuh slot bagasi. Boarding 40 menit lagi. Aku sudah menunggu di gate F4. Sebuah pesan masuk di subuh yang dingin seperti ini.

Sudah di bandara?

***

Bersambung ke bagian 2. Kapan? Belum ada jadwal pasti. Ditunggu saja.

Andalan

Menaklukkan PPG

dok. pribadi

Dua kali ditaklukkan pemegang serdik di tes PPPK membuat nilai SKD ibuk samitra terasa sia-sia, meski nilainya unggul jauh jika sertifikat pendidik tidak dijadikan privilege bagi saingannya.

Saya menyemangatinya. Memberinya ruang penjelasan yang berterima jika serdik itu memang semacam wild card yang bisa menolong pemegangnya jika nilai SKD minimalis.

Saya ini punya serdik dan itu butuh waktu panjang mendapatkannya. Sekitar 2.5 tahun yang saya butuhkan untuk meraih. Harus ujian berkali-kali agar bisa layak memilikinya. Ia bisa paham.

Kita tidak bisa melawan aturan. Seperti pertandingan sepakbola kamu bisa unggul 2 gol di babak pertama, tapi di menit 80 dan seterusnya kamu kebobolan 3 dan tetap kalah. Kalah oleh serdik bukanlah akhir, bukan pula tanda kalah kualitas. Bukan rejeki di dua pertarungan tersebut. Hanya saja ada banyak cara untuk menembus keinginan.

Suatu hari saya dan ibuk samitra berbicara bagaimana kalau dia mencoba daftar PPG saja. Biar ke depannya saat ada perekrutan PPPK lagi bisa lebih mudah langkahnya. Maunya juga begitu, tapi tidak tahu harus bagaimana. Sementara dia baru mengajar kurang dari setahun. Dapodiknya juga baru berumur anak jagung. Masih banyak guru-guru senior se-Gunungkidul yang lebih pantas.

Namun kata Tuhan berbeda. Dari pengumuman pretest PPG yang beredar di grup KKG Guru PAI se-Gunungkidul, Kemenag pusat menyelipkan nama ibuk samitra sebagai calon peserta PPG. Antusias tentu saja. Kaget turut serta. Banyak rekan sejawatnya yang menaruh heran atas kelulusannya menuju tahap pretest PPG. Guru baru dengan trek rekor mengajar yang kalah jauh dari banyak guru PAI lainnya kok bisa-bisanya terpilih dalam gelombang seleksi.

Ini bisa saja keberuntungan atau faktor lain yang kami tidak begitu pahami. Ibuk samitra masih harus mengikuti ujian saringan agar bisa mengikuti PPG. Setengah pintu sudah terbuka, butuh satu usaha dorongan lagi agar bisa masuk. Ia bingung harus mempersiapkan diri dengan belajar materi apa? Jenis soalnya nanti akan bagaimana? Saya langsung bergerilya menghubungi teman saya guru PAI di Johor Bahru dan Kuala Lumpur yang akhir tahun lalu baru saja menyelesaikan PPG mereka. Keduanya juga produk pretest. Saya meminta kisi-kisi soal yang bisa dipelajari oleh ibuk samitra.

Setelah file materi saya terima, saya meminta ibuk samitra melowongkan waktunya tiap hari untuk belajar. Persiapan sudah dilakukan. Pretest dilakukan dari rumah secara online. Saya membantu men-setting peralatan yang dibutuhkannya. Ibuk samitra bercerita jika soal-soal yang disajikan cukup mudah dijawabnya karena sebagian besar yang ia pelajari memang keluar.

Kurang dari sebulan pengumuman keluar. Ia dinyatakan sebagai peserta PPG untuk LPTK UIN Jogja. Pretest berhasila ia taklukkan. Ia cukup gembira meski tidak meluap-luap karena keyakinannya di awal sudah terpupuk dengan baik. Hasil yang sesuai harapan. Kini tugasnya menunggu pengumuman pelaksanaan PPG.

MENIKAHLAH DENGAN ORANG YANG TEPAT

Andalan

Menikah adalah sunah. Sementara mendapatkan pasangan adalah akumulasi dari doa disertai ikhtiar yang panjang. Jika hidup adalah pilihan ganda, lalu kenapa kita tidak bisa memilih yang paling baik. Yang paling baik bukan ditentukan apa yang mata bisa nilai. Tapi juga melibatkan hati dalam memilih. Sama halnya pasangan hidup. Jangan sampai memilih yang enak di mata, kece di penampilan, aman di dompet, tapi lalai pada sikapnya. Siapa sih yang mau menjalani kehidupan rumah tangga dengan durasi panjang tapi hati tak pernah nyaman. Hidup selalu dipenuhi rasa was-was. Selektif bukan berarti jual mahal. Tapi kita butuh yang benar-benar sevisi dan sejiwa.

Kebaikan selalu mendatangkan kebaikan. Itu yang selalu saya yakini. Jika kebaikan yang telah kita beri pada akhirnya dibalas dengan keburukan. It’s ok. Kita tetap pasang senyum dan berusaha memaafkan. Biarlah perkara buruknya sikap seseorang pada kita menjadi urusannya dengan Tuhan.

Pasangan kita adalah cerminan diri kita. Bukan berarti saya menilai diri saya sendiri sebagai orang baik dan tak bercelah. Bukan sama sekali. Saya tetap menimbun dosa yang takarannya masih ditutup oleh Tuhan. Bukankah tak pernah ada kata telat untuk meminta tobat? Karena merasa hidup saya selama ini jika berkaitan dengan konteks ibadah selalu naik turun. Terkadang semangat, terkadang memaksakan diri untuk melakukan kewajiban. Sementara di luar wajib sangat jarang. That’s why saya butuh seseorang yang tak hanya menjadi medium pengubah status single semata tapi lebih dari itu. Saya butuh seorang pendamping yang menjadikan agamanya sebagai prioritas utama.

Setiap perempuan pasti mendambakan seorang laki-laki yang religius. Ibadahnya kencang. Wajib dan sunnahnya seimbang. Perkataannya dan perbuatannya selaras. Good looking and having a nice job adalah nilai tambah yang semakin membuat nilai pasarannya tinggi. Perfect. Tapi sangat jarang kita menemui yang sepaket seperti itu. Pun jika ada, seleranya pun tentu berkelas. Hehehehe. Saya pun mendambakan seseoroang seperti itu dalam versi perempuannya.

Beberapa kesempatan saya bertemu dan dekat dengan perempuan yang merupakan standar kriteria yang saya inginkan untuk menjadi pendamping hidup. Bukan secara fisik yang menjadi daya pikatnya. Cantik itu pilihan loh ya, bukan sebatas relatif saja. Bisa cantik karena dia pintar, bisa juga karena pupur. Itu kembali lagi ke masalah selera masing-masing. Yang jelasnya saya suka perempuan pintar. Nyaman diajak diskusi tentang apapun itu. Perempuan yang hanya membahas bedak, lipstik, daily outfit, atau hal-hal remeh lainnya tidak terlalu menarik minat saya terhadapnya.

Hingga suatu hari saya bertemu dengan seorang perempuan yang secara fisik biasa-biasa saja. Cantik tidak, jelek juga bisa dibilang tidak. Itu versi saya. Namun yang membuat saya terkesimah dan memutuskan melamar dia kurang dari sebulan pasca bertemu adalah pola pikirnya begitu terbuka. Semua hal dilihatnya dengan kaca mata agama.

“Agama, Mas. Segalanya berdasar di sana. Dari sebelum lahir hingga kita mati semua telah diatur oleh agama kita.” Itu yang dikatakannya suatu hari.

Ketika saya tahu dia pun berkecimpung di dunia parenting, saya tak berpikir panjang lagi. Ini dia yang saya cari selama ini. Perspektif agamanya cukup baik, mampu menjaga aurat dengan baik, serta ilmu mengasuh dan mendidik anak dia punya (in theory basically), belum lagi wawasan umum lain yang sering dia bagikan ke saya. Sehingga saya bisa paham apa yang sebelumnya tidak saya tahu. Bukankah cara mendidik anak yang baik dimulai dengan memilih ibunya? Dan saya melakukan itu.

Perjalanan menikah kami memang masih seumur jagung. Namun yang saya rasakan begitu besar dampaknya pada hidup saya, hidup kami tepatnya. Terutama hal yang berkaitan dengan penghambaan saya terhadap Tuhan. Ketika hendak melamarnya saya berterus terang tentang segala kurang yang saya miliki, terutama hubungan saya terhadap pencipta yang dekat sekaligus berjarak.

“Saya tidak pernah merasa sempurna. Lalu kenapa saya harus berharap menemukan yang sempurna. Segala penerimaan akan saya lakukan. Mau njenengan jarang salat, belum rajin mengaji, tetap saya terima. Saya yakin setiap orang akan mengalami fase buruk di hidupnya, kemudian akan datang masa di mana segala yang pernah buruk itu akan diperbaiki sehingga kualitas dirinya menjadi baik di hadapan Tuhan. Manusia mampu memvonis baik buruk seseorang. Tapi tetap Tuhan yang menentukan siapa layak menjadi hamba yang baik.” Nasihat yang saya dapatkan darinya.

Waktu memangkas semua ragu yang saya punya. Tak ada nikmat yang luput untuk saya syukuri. Menikah membuat saya siap menjadi manusia lebih baik lagi. Menikah bukanlah beban tapi ia adalah proses hijrah. Ia adalah proses menjadi dewasa sesungguhnya. Lalu kenapa tidak menikah kalau itu memang baik?

IMG_3507.JPG
Lagi pesan Go-Food

IMG_3572.JPG
Mencari hal-hal baru

 

 

SEJARAH BERDIRINYA SIJB

Andalan
Hari ini suatu kehormatan bagi SIJB dan terlebih-lebih bagi saya. Kami kedatangan Bapak Djujur S.H Hutagalung. Pencetus ide keberadaan SIJB. Pejuang ulung agar SIJB harus berdiri. Mungkin tanpa kehadiran beliau di KJRI Johor Bahru, gedung belajar bagi anak Indonesia itu tak pernah ada.
Beliau datang menggunakan van sekolah yang dikemudikan oleh pak Ichsan. Pak Djujur datang bersama istri tercinta. Beliau ke Johor Bahru untuk beberapa keperluan. Ke Johor Bahru tanpa berkunjung ke KJRI dan SIJB terasa ada yang kurang.
Sembari bernostalgia, beliau akhirnya bercerita panjang proses berdirinya SIJB. Saya pun berterima kasih pada pak Irman yang mau memancing beliau untuk bernapak tilas.
Pada tahun 2010 pak Djujur mendapat mandat dari Kemenlu untuk bertugas sebagai Fungsi Pensosbud (Penalaran sosial budaya) di KBRI Kuala Lumpur. Tapi akibat suatu dan lain hal beliau akhirnya tak jadi bertugas di sana. Melainkan harus ke KJRI Johor Bahru dengan posisi yang sama sebagai Pensosbud. Basically, Pak Djujur adalah akademisi. Beliau adalah seorang Dosen. Seluk beluk pendidikan telah mandarah daging di tubuhnya. Sebab itu perjuangan hidupnya tak pernah lepas dari dunia kependidikan. Prestasi hebat lainnya dari beliau adalah pernah menjabat menjadi kepala sekolah SIN (Sekolah Indonesia Netherland). Selain itu di Indonesia tak kalah cemerlangnya prestasi beliau. Sudah puluhan sekolah yang telah beliau bangun berkat usahanya melobi sana sini sehingga ada pihak-pihak yang tergerak merealisasikan mimpinya. Yogjakarta, Kabupaten Solok (Sumatra Barat), hingga ke Pulau Nias di Sumatra Utara. Semua dirintisnya.
Setelah menjabat menjadi Pensosbud di KJRI Johor Bahru beliau pun akhirnya menanamkan mimpi. Di Johor Bahru harus ada sekolah untuk anak-anak Indonesia yang kurang beruntung karena tak memiliki akses untuk bersekolah di sekolah lokal. Dalam kata lain anak-anak tersebut tak berdokumen dan merupakan anak-anak dari para imigran pekerja Indonesia di Johor Bahru. Sebagian besar mereka bekerja di sektor perladangan, kilang, manufaktur, atau sebagai pekerja rumah tangga.
Di tahun 2011 beliu turun rembuk ke Pimpinan (Dubes KL) untuk meminta ijin mendirikan suatu lembaga pendidikan untuk memfasilitasi anak-anak Indonesia dalam belajar. Namun terjadi penolakan. Ide tersebut dianggap gila dan mengada-ada.
“SIKL saja yang sekolahnya legal, itu bermasalah. Apa lagi kamu yang ingin mendirikan di Johor Bahru. Jangan buat yang macam-macam.” Dubes ketika itu menegaskan.
Tapi pak Djujur tak mengenal kata menyerah. Yang ingin dikerjakannya bukanlah suatu hal yang melanggar hukum. Beliau akhirnya meneruskan apa yang telah menjadi niatnya tersebut. Beliau melakukan ini bukan untuk mencari nama. Beliau hanya menjalankan amanah yang telah Kemenlu berikan pada beliau. Buatlah pembaharuan di Johor Bahru.
Pada 2012, akhirnya Konjen Johor Bahru yang saat itu menjabat akhirnya memberi kesempatan kepada pak Djujur untuk merealisasikan berdirinya sebuah komunitas belajar. Ketika itu Pensosbud (dalam hal ini adalah area kerja pak Djujur) hanya memperoleh dana sebesar 240 juta. Sangat minim. Mau tidak mau karena sudah bertekad besar akhirnya beliau pun memakai anggaran pribadinya untuk membangun komunitas belajar di Johor Bahru sebagai penambal anggaran yang minim tersebut.
2013, tekad itu semakin besar. Pak Djujur pun berangkat ke Jakarta untuk menghadap ke Kemenlu untuk memohon dana bantuan tambahan agar sekolah bisa berdiri dengan segera. Tapi tak semudah terbayangkan. Pihak Kemenlu menolak. Sebab anggaran untuk ke sana tak ada. Tak menyerah sampai di situ, pak Djujur mengalihkan lobinya ke Kemendikbud. Departemen yang lebih powerful untuk urusan pendidikan.
Di suatu waktu pak Djujur bertemu dengan Bapak Moh.Nuh (Mendikbud saat itu) untuk meminta ijin pendirian sekolah di Johor Bahru. Tanpa rembuk yang panjang pada akhirnya bapak Moh.Nuh mengabulkan permintaan pak Djujur membangun sebuah sekolah di Johor Bahru. Tapi dengan syarat SIJB tidak berdiri sendiri tapi harus menginduk ke SIKL. Pun SIJB tak boleh memakai nama SIJB sebagai penamaan resmi sebab statusnya hanya sebagai pusat komunitas belajar yang dikenal sebagai ICC (Indonesia Community Center). Tapi aktifitas yang berjalan di dalamnya tetap nuansa sekolah. Tak masalah bagi pak Djujur. Terpenting adalah anak-anak Indonesia bisa terfasilitasi dalam belajar.
Namun pada saat itu Pak Moh.Nuh tak bisa mengambil keputusan secara sepihak. Beliau pun harus seiya sekata dengan Dirjen terkait dan Wamendikbud.
“Jika pak Wamen setuju maka sekolah di Johor Bahru bisa kita bangun.” Kata Pak Moh.Nuh ketika itu.
Tak membuang tempo pak Djujur segera menuju ke Kantor Wamendikbud. Tapi ternyata beliau tak ada di tempat. Ia sudah ada di bandara. 2 jam lagi pesawat beliau akan take off. Orang-orang yang bersama pak Djujur ketika itu menyarankan untuk mengejar pak Wamen ke bandara. Ini persoalan besar harus segera diputuskan. Beliau pun menuju ke bandara Soekarno-Hatta.
Pak Djujur pun berhasil menemui pak Wamen. Beliau menjelaskan maksud kedatangannya menemui pak Wamen di last minute seperti itu. “Pak Djujur saya salut. Sebelum pak Djujur purna tugas di Johor Bahru, inshaa Allah sekolah itu sudah berdiri.” Bonus lain yang didapatkan oleh pak Djujur dari lobi membahagiakan itu adalah pendirian PAUD. Bisa dikatakan the power of teman bekerja baik di sini. Kebetulan Dirjen PAUD ketika itu adalah kawan baik dari pak Djujur.
Peresmian PAUD Cahaya (Nama PAUD JB) dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 2013. Diresmikan oleh Ibu Anisa selaku ketua DWP (Dharma Wanita Persatuan) dan Bapak Taufiqur Rija (Konjen RI Johor Bahru saat itu). Sementara sekolah untuk tingkat SD dan SMP di resmikan pada tanggal 5 Januari 2014 dengan nama awal SIT (Sekolah Indonesia Terbuka) oleh Prof. Rusdi (Atdikbud Kuala Lumpur periode 2011-2014), Bapak Taufiqur Rijal, Bapak Djujur S.H Hutagalung.Kemudian berubah menjadi SIJB pada tanggal 5 Januari 2015 yang diresmikan langsung oleh Prof. Ari Purbayanto (Atdikbud Kuala Lumpur periode Desember 2014 – hingga saat ini). Perubahan nama ini merujuk kepada aturan yang telah dibuat oleh Kemenlu, bahwa setiap sekolah Indonesia yang berada di luar negeri harus bernama dengan basis letak kota di mana sekolah itu didirikan.
Segelumit perjalanan yang terjal mewarnai peta perjalanan SIJB hingga bisa menjadi seperti sekarang. Orang-orang yang terdahulu menentang atau bahkan pesimis akan hal ide gila pak Djujur ini, sekarang bisa kembali bersatu frekuensi mendukung eksistensi SIJB dalam pemenuhan hak-hak anak bangsa dalam mendapatkan fasilitas pendidikan.

20170313_150110.jpg
Pak Djujur (kemeja Pink)

20170313_150730.jpg
Pak Irman memberikan penjelasan perkembangan sekolah

WELEM

Andalan

2013, ketika itu saya masih bertugas sebagai Guru SM-3T di salah satu sekolah yang terletak  di kabupaten Raja Ampat. Setahun. Terbilang singkat  untuk memahami dinamika pendidikan di daerah pelosok secara utuh. Tapi bukan berarti sensasi pengabdian tak saya dapatkan. Di sana saya menemukan berupa-rupa pelajaran hidup.

***
Saat itu saya bertemu dengan sosok siswa bernama Welem. Tubuhnya kecil. Mengingatkan saya pada Daus Mini. Kulitnya hitam khas orang-orang Papua. Rambutnya keriting.
Jika ingatan saya masih tepat. Ia tak pernah absen setiap kali saya masuk mengajar di kelasnya. Kala itu ia duduk di kelas VII SMP. Saat ini, jika terus bersekolah, ia sudah SMA.
Dia duduk di bangku paling depan. Tepat di hadapan meja Guru.

20130923_075610.jpg
Welem dengan senyum manisnya

Di dalam kelas ia tak banyak bicara. Ia selalu turut pada instruksi yang keluar dari mulut saya. Ia tak pintar. Bicara konteks intelektual siswa-siswa di pedalaman Papua memang memprihatinkan. Sebab pengajaran bukan di mulai ketika bel masuk berbunyi. Tapi saat menyadarkan mereka untuk mau datang ke sekolah. Di beberapa kasus -saya belum pernah mengalaminya- teman-teman saya yang mengabdi di lokasi lain mesti menjemput siswa door to door agar mau datang ke sekolah. Menurut saya, siswa yang pintar di antara mereka adalah yang mampu membaca dengan baik dan benar. Disertai kemampuan menulis yang baik pula. Bukan mereka yang kritis di dalam kelas atau mereka yang mampu menjawab setiap pertanyaan yang disajikan. Saya menemukan masih banyak yang belum bisa keduanya. Termasuk mereka yang duduk di bangku SMA.

***

Kembali ke Welem.
Kami tak banyak berinteraksi. Alasannya itu tadi. Ia cenderung pendiam. Bersama teman-temannya pun ia terlihat berperilaku sama.
Suatu istrahat sekolah, saya yang masih memeriksa tugas-tugas siswa memperhatikan Welem yang memilih duduk di bangkunya. Sepertinya jam istrahat bukan sesuatu yg spesial baginya.
“Ko tra keluar?” Tanya saya memecah diamnya.
“Tra ada pak Guru. Tong di dalam kelas saja.” Sambil ia menggeleng beberapa kali.
Kami berdua diam.
Saya belum puas. Ini momen langkah. Jarang saya berinteraksi dengannya. Sebab di dalam kelas setiap ajuan pertanyaan saya selalu direspon olehnya dengan sikap diam.
“Sudah makan?”
Ia menggeleng lagi.
Pertanyaan yang masih membuatnya hemat kata.
“Kau suka sekolah?” Seketika kepalanya terangkat.
“Suka pak Guru.” Ia mulai terpancing.
“Kenapa?”
“Karena saya mau jadi anggota DPR.” Suaranya begitu semangat. Saya mulai tertarik.
“Kau tau apa itu anggota DPR?”
“Tau pak Guru.”
“Apa?”
“Dorang yang biasa datang bagi-bagi beras, sabun, indomie, dan baju.”
“Untuk apa?”
“Sa pu mace bilang supaya dorang ditusuk saat pemilu.”
“Jadi kau mau seperti dia?”
Welem hanya mengangguk.
“Kau tak mau jadi polisi atau guru kah?”
“Tak mau pak Guru. Anggota DPR saja.”
****
Sampai di sini saya paham. Siswa sebenarnya butuh seorang figure inspiratif yang mampu memicu sumbu keinginan mereka untuk menjadi seseorang yang berguna di masa depan. Mudah bagi siswa yang bersekolah di kota-kota besar untuk mengakses informasi. Manakah tokoh yang bisa mereka idolakan dan bisa mereka jadikan sebagai sosok panutan.
Sementara di daerah pelosok yang listrik saja adalah suatu barang mewah dan internet masih menjadi benda asing yang berada jauh di luar nalar mereka. Di luar sana semua telah termodernisasi. Sementara mereka masih hidup di era usaha memanusiakan manusia.
Welem salah satu contoh manusia pelosok yang secara tidak langsung meminta diperlakukan sebagai manusia utuh. Meminta agar diberikan hak mengenyam pendidikan.

***

Janganlah cuma menjadi orang yang sukses, tapi jadilah manusia yang mempunyai nilai.  -Anis Baswedan-

20130924_064815
Bayangkan jika mereka tak memiliki Guru. Bangsa ini akan kehilangan banyak calon penerus

Kabar dari Johor Bahru

my fellow teachers in Johor Bahru

Saya selalu punya keinginan untuk menceritakan seluruh kehidupan saya menjadi guru di Johor Bahru, Malaysia. Tentu tidak semua hal bisa saya tumpahkan karena ada cerita yang seru, monoton, dan yang tidak perlu dibagikan karena sifatnya internal.

Sebelum beranjak tua dan banyak ingatan tentang periode lima tahun itu pudar memang sebaiknya harus mulai saya tulis. Jika memungkinkan saya bagikan secara luas. Saya teringat di minggu terakhir sebelum pulang for good, Pak Andri menantang saya untuk menulisan kisah saya dan Johor Bahru. Sebagai tanda bukti waktu dan kontribusi saya di sana sangat nyata dan bermanfaat untuk anak-anak Indonesia yang menjadi murid saya. Ketika itu saya memang hanya mengiyakan saja. Niat untuk menulisnya belum terkumpul semua. Antara mau dan tidak.

Ternyata malam ini setelah membaca ulang buku Everything in Between milik Marlies Fennema tentang petualangannya bersepeda dari Belanda ke Indonesia memantik hasrat saya untuk ‘bagaimana kalau hidup saya di Johor Bahru harus menjadi tulisan?’ Apa lagi saya sudah punya banyak tabungan tulisan tentang kegiatan saya selama di sana, baik itu yang ter-publish atau hanya mengendap di dalam laptop.

Mungkin cerita-cerita yang saya susun tidak akan runut sesuai timeline peristiwa itu terjadi. Saya akan menuliskannya secara lompat-lompat. Menyesuaikan kekuatan ingatan saya. Apa lagi sudah hampir dua tahun saya menyelesaikan masa bakti. Tentu saja ada puzzle di dalam kepala yang sudah tidak utuh lagi. 

Kabar dari Johor Bahru. Itu judul yang sudah saya persiapkan sejak 2019 lalu jika memang suatu hari nanti saya membuat buku lagi. Apakah itu judul yang bisa menggaet rasa penasaran pembaca? Saya tidak tahu, tapi paling tidak saya sudah menyiapkan hal tersebut sebagai pemantik awal agar saya mau menyelesaikan tugas menulis cerita-cerita tersebut. Jika belakangan menemukan judul yang lebih pas, mungkin saya akan menggantinya. Untuk sementara saya akan memakai ‘Kabar dari Johor Bahru’ sebagai judul utama.

Saya tak ada alternatif medium lain dalam bercerita selain tulisan. Saya tidak punya kemahiran merekam diri sendiri lalu bermonolog, kemudian mengedit video sedemikian rupa agar terlihat estetik. Pun kalau bisa perlu banyak waktu untuk membuat script, menghapalkannya, merekam, mengedit, lalu membagikannya. Bisa-bisa saya menyerah sebelum video pertama rampung. Maka dari itu saya lebih baik menulis saja karena itu kemampuan saya yang cukup terlatih.

Kisah tentang Johor Bahru bukan saja tentang pengabdian atau sebagai tugas negara. Ternyata di tengah-tengah perjalanan itu saya bertemu dengan seorang mahasiswa KKN yang kemudian menjadi istri saya. Hal tersebut membuat saya harus dinaturalisasi menjadi warga Jogja. Kisah ini sebaiknya menjadi tulisan panjang saja sebagai bagian dari cerita ‘Kabar dari Johor Bahru.’

Akhirnya tiba waktunya saya harus memulai menuliskan beragam cerita apa saja yang terjadi di Johor Bahru, utamanya di sekolah. Ini bukan kisah heroik yang berujung ada pemenang dan dielu-elukan namanya. Bisa dikatakan perjuangan saya di sana sebenarnya tidak tuntas. Masih banyak masalah yang belum tuntas. Tongkat estafet pengabdian harus diserahkan ke orang baru. Apa lagi kami terikat kontrak berbatas waktu.

Tentu tulisan-tulisan yang akan terbit tidak akan pasti datangnya. Sebab menulis ini bukan prioritas utama saya. Ia akan saya tulis jika ada waktu senggang dan teringat jika memang harus ditulis. Sebab tanggung jawab utama saya ada pada hal lain. Sedangkan menulis adalah cara saya melepas penat dan rumitnya isi kepala.

Syukur untuk Semua

James Coleman on Unsplash

Kita terkadang lupa bahwa segala bentuk kebaikan yang kita terima dirancang oleh yang Maha Kuasa. Tugas kita berpikir untuk tumbuh, merancang timeline dan bergerak maksimal, dan -bagian paling penting- siap menerima apapun hasil akhirnya.

Takdir selalu punya caranya sendiri untuk membahagiakan atau mengecewakan seseorang. Namun, kita tidak bisa apa-apa jika apa yang kita harap tidak sesuai doa-doa yang dipanjatkan. Kau menginginkan sesuatu yang kau anggap terbaik. Lalu, kenyataannya kau menerima sesuatu hal lain yang menurutmu buruk, tapi di mata Tuhan itu adalah takdir terbaik.

Manusia selalu punya cara untuk menyalahkan keadaan saat ia buntuk dan terhimpit jalan keluar. Mengeluh sepanjang waktu dan sibuk menyerang apa dan siapa saja yang memperhambat keinginannya. Manusia malas menunjuk dirinya sendiri jika berhadapan dengan kegagalan. Ia juga menuduh Tuhan sudah berlaku tidak adil untuk semua kemalangan. Sebaliknya, saat meraih yang diidamkan syukurnya tipis atau nyaris mustahil diucapkan.

Dan aku manusia juga yang terkadang merasa risau pada masa depan. Padahal Tuhan sudah menegaskan tugasmu adalah hidup di hari ini dan merayakan kegembiraan dan kesedihan dengan cara yang sama. Di masa depan akan banyak hal yang menunggu jika sabarmu dan upayamu terlaksana dengan baik. Tuhan ingin melihat seberapa konsisten hambanya mengangkat tangan dan meminta.

Sebelum berangkat tidur, kita selalu menitipkan harapan bahwa hari besok saat mata terbuka kembali akan ada kabar gembira menyambut. Saat pagi, doa itu belum terkabul. Hati kembali janggal karena rasa sabar itu kita batasi. Padahal sabar tidak ada batasnya, jika ia terpotong oleh hati yang dongkol kita tidak memiliki kesabaran itu. Aku tidak punya pembelaan apa-apa perihal sabar. Aku sendiri terkadang tidak memilikinya. Inginnya tergesa-gesa. Namun, sedikit demi sedikit belajar jika tidak semuanya bisa terwujud. Ada yang benar-benar tidak terwujud. Ada yang terwujudnya terlambat.

Aku berkelahi dengan diriku sendiri. Perang batin itu memang menyiksa. Karena aku harus bertarung dan memenangkan salah satu dari akal dan perasaanku. Akan ada yang terluka dan menyesal di belakang. Itu risiko yang mesti dirangkul. Maka dari itu aku selalu mengajari diri sendiri untuk mau menerima apa saja yang sudah digariskan buatku tanpa banyak protes.

Jogja, Juli 2023

Menulis Itu Menyembuhkan

Nick Morrison on Unsplash

Dua minggu terakhir saya banyak menulis. Saya melakukannya karena semacam ada lecutan dari dalam diri agar lebih bergairah lagi dalam mengeluarkan isi kepala. Saya menulis apa yang saya suka. Tidak menargetkan tema tertentu. Saya tidak mau berpikir keras karena harus dibebani topik khusus. Saya hanya ingin melepaskan ributnya kepala.

Hari ini saja saya sudah menulis tiga kali. Dua kali diketik, sekali benar-benar ditulis di atas kertas. Saya pun merasa jika kemampuan dan kemauan menulis yang saya punya harus diasa setiap hari agar semakin tajam. Saya memang tidak bercita-cita ingin menjadi penulis handal atau menciptakan karya hebat dan dikagumi banyak orang. Saya melakukan hal tersebut semata-mata untuk menyelamatkan diri sendiri dari beban-beban yang tidak terjelaskan.

Saya tak ingin tumbang oleh hal-hal yang sebenarny hanya ribut di dalam kepala. Perlu medium untuk menentramkan pikiran. Beberapa orang senang mengeluarkan perasaan dengan ngobrol dengan orang lain. Beberapa lainnya memilih sakit karena memendamnya sendiri. Cara saya adalah menulis agar bisa tetap waras.

Jika pilek atau sakit kepala membutuhkan obat yang dijemput di apotek. Maka kepala yang penuh karena berpikir macam-macam, setidaknya buat saya, obatnya adalah menumpahkan lewat tulisan. Apakah ini cocok disebut terapi? Bisa saja. Apapun istilahnya, ini cocok buat saya untuk melepaskan kegelisahan.

Setidaknya saya tidak membebani orang-orang sekitar saya dengan emosi yang tidak terkontrol saat ingin menumpahkan kemarahan. Saya melakukannya dengan cara yang sunyi namun ampuh mengatasi. Seandainya orang-orang yang tempramen di luar sana bisa mengalokasikan amarah mereka dengan cara seperti ini, bisa saja kekerasan fisik atau mental bisa berkurang kasusnya.

Saya bukan pakar kesembuhan mental. Saya hanya membagikan metode yang saya anggap ampuh dalam menangani kegelisahan yang saya rasakan. Saya tidak punya isu mental health yang berat dan butuh pendampingan psikolog untuk bisa normal kembali. Bukankah setiap orang punya kegelisahannya masing-masing? Di saya hal tersebut tidak dalam ranah mengkhawatirkan. Dengan menulis, ditinggal tidur, atau ngopi sudah cukup melegakan.

Jika kamu didera perasaan berat karena beragam masalah dengan diri sendiri atau melibatkan pihak lain. Mungkin cara yang saya tempuh bisa dicoba. Siapa tahu mujarab dan kegelisahanmu ikut sirna. Meski di waktu lain ia bisa datang lagi dengan bentuk masalah yang berbeda. Paling tidak kamu bisa terbebas dari satu hal yang memberatkan.

Aku Mau Jadi Apa Nanti?

Firmbee.com on Unsplash

Saya sedang berhadapan dengan Asyifa, Nanda, Putri, dan Mua. Semuanya adalah santri sekaligus siswa di sekolah tempat saya mengajar. Awalnya saya hanya berbicara empat mata dengan Asyifa dalam rangka membahas kegiatan lomba pidato di awal Agustus nanti. Saya memilihnya karena ia punya potensi untuk diajak berkembang. Satu hal lagi yang saya suka dari dia: senang ditantang. Seperti dua minggu lalu, ia tidak berpikir dua kali saat saya tawari untuk jadi pembawa acara di perpisahan kelas IX.

Ketiga teman Asyifa ikut mengerumuni kami. Saya tidak mengalihkan pembicaraan atau meminta mereka menjauh. Toh, yang kami bahas juga tidak bersifat rahasia. Urusan lomba selesai, Putri bertanya untuk memancing pembahasan baru.

“Pak, mahal gak sih kuliah kedokteran?” Yang lain pasang telinga untuk ikut mendengarkan seksama.

“Ya, jelas. Paling tidak harus punya 500 juta kalau mau jadi dokter.” Saya hanya asal menyebut angka. Paling tidak di usia mereka lulus SMA nanti mungkin angkat segitu masuk akal. Inflasi pasti terjadi.

“Wahhhh, banyak sekali!” Kali ini Nanda ikut berseru.

“Untuk jadi dokter bukan cuma butuh uang. Jangan lupa kecerdasan juga jadi faktor utama. Meski uang kalian cukup buat sekolah kedokteran tapi kemampuan kepala kalian biasa-biasa saja juga susah. Daripada mementingkan urusan uang, lebih baik belajar saja yang tekun. Kalau kalian cerdas masih memungkinkan dapat beasiswa masuk kedokteran. Itu jauh lebih masuk akal, bukan?”

Senyum mereka merekah kembali. Harapan bagi siswa di sekolah seperti lilin yang harus selalu dijaga nyalanya. Jangan dibiarkan mati. Itu membuat mereka pupus harapan pada pendidikan. Lilin itu, suatu saat nanti, harus berubah menjadi lampu agar terangnya lebih kuat.

“Kalau saya, Pak, mau jadi wanita karir. Punya penghasilan sendiri.” Kata Nanda.

“Nah, harus begitu. Perempuan dan laki-laki harus punya kesempatan yang sama dalam berbagai hal. Kalau laki-laki mampu mencari uang sendiri, kenapa perempuan tidak? Kalau urusan agama tentu ada syariah yang membatasi. Misalnya imam salat mutlak harus laki-laki. Tidak bisa perempuan. Tapi urusan sekolah dan berkarir semua berkesempatan sama.”

Lalu saya menjelaskan beberapa hal terkait beasiswa, khususnya yang dimotori oleh Kemenag.

“Pokoknya selalu ada jalan, meski tidak mulus, untuk kuliah nanti. Tugas kalian tetap belajar. Sambil persiapan jauh-jauh hari. Masih ada 5 tahun lagi buat kalian ada di fase apakah berkuliah, bekerja, atau menunggu lamaran orang.”

“Tapi, pak, saya gak tahu mau jadi apa nanti.” Kata Mua.

“Sekarang belum tahu. Nanti pasti akan ketemu sendiri sesuatu yang kamu suka dan mau mengejar itu. Usahakan yang kamu kejar itu sesuatu yang membuat kamu senang dan sekaligus mendatangkan uang buat hidup. Kalau kamu suka dan senang menjalaninya tanpa ada uangnya, itu namanya sekadar hobi saja. Jadi jangan panik dulu. Sambil belajar, sambil mencari-cari.” Mua mengangguk paham.

Di usia mereka saat ini cita-cita mungkin hanya sekadar jawaban atas pertanyaan “apa cita-citamu saat dewasa nanti?” Bukanlah harga mati yang perlu diupayakan keras-keras. Apa lagi mereka tinggal di pondok pesantren yang lebih menitikberatkan ilmu agama. Tidak ditampik, mereka adalah remaja yang haus informasi baru. Namun, gerak mereka terbatas. Tidak ada sambungan TV sebagai hiburan atau ponsel pun tidak boleh beredar di kalangan santri. Informasi tentang dunia luar cenderung datang dari guru mereka di sekolah. Sementara tidak semua guru, apa lagi yang senior, mau menyediakan telinga untuk mendengarkan curhatan mereka dan tentu saja menyiapkan jawaban-jawaban yang tetap menyergarkan hati mereka kalau harapan selalu terbuka ke depannya.

“Untuk dapat beasiswa ada syarat utama yang harus kalian penuhi. Dan ini tidak bisa ditawar-tawar.” Mereka mulai memasang muka serius lagi. “Kalian harus bisa berbahasa Inggris. Bukan jago tapi cukup baik.”

Bersamaan mereka tepok jidat.

“Berat juga, Pak.” Kata Nanda.”

Mua hanya tersenyum.

“Untung bukan Matematika. Aku gak suka Matematika.” Kata Putri.

“Inshaa Allah, Pak.” Sahut Asyifa.

Pembicaraan kami selesai setelah ada panggilan untuk mengambil uang saku mereka di ruang guru.

Lu Punya 12 Ribu, Lu Punya Kuasa

Hidup murah di Jogja tidak sepenuhnya salah. Budget 5 juta perbulan juga bisa bablas sebelum masuk tanggal muda. Ini masalah gaya hidup dan itu adalah pilihan. Menurut data dari okezone, Jogja menempati urutan pertama daerah termurah di Indonesia untuk hidup. Punya 1-1,5 juta perbulan sudah menyelamatkanmu dari kelaparan. Buat saya yang sudah hampir dua tahun menetap di Jogja, angka segitu memang akan cukup kalau dicukup-cukupkan kalau sekadar mengisi perut. Masalahnya hidup bukan sekadar mencukupi makan saja. Ada token listrik, ada uang sekolah anak, ada anggaran healing tipis-tipis di taman kuliner jantung kota Wonosari, dan biaya pusing kepala lainnya. Saya dan istri harus menyiapkan dana di atas 2 juta untuk menjaga stabilitas rumah tangga perbulannya.

Untuk meminimalisir pengluaran anggaran, tentu kami berupaya selalu masak di rumah. Belanja bahan-bahan mentah yang tak jauh dari tempat tinggal. Selain sehat karena racikan bumbunya bisa terkontrol dengan baik, harga yang miring juga keuntungan utama kami sebagai pasangan yang hidup pay check to pay check. Kami juga punya anak kecil yang harus diperhatikan asupan gizinya. Memasak di rumah adalah kunci untuk menghindari timbulnya gejala stunting.

Secara spesifik saya tinggalnya di kabupaten Gunungkidul, masih cakupan provinsi DI Yogyakarta. Banyak yang tidak familiar memang. Orang-orang tahunya Sleman atau Bantul yang lebih popular. Gunungkidul sendiri berada di peringkat buncit untuk urusan UMR. Namun, masyarakat masih bisa menikmati pakan yang harganya menyesuaikan komposisi isi kantong.

Sebagai warga naturalisasi Gunungkidul dari Kabupaten Bantaeng di Sulawesi sana, saya cukup menikmati kuliner di sini. Meski harus bertoleransi dengan dominasi rasa manis di makanan-makanan berkuah semacam soto. Makanya di rumah saya lebih sering meracik sambal sendiri untuk memenuhi hastrat pedas yang melampaui lidah orang Jogja.

Hari ini semua guru di sekolah saya diminta menghabiskan waktu di rumah. Kegiatan pondok diambil alih orang para pengasuh. Saya ditugasi khusus oleh Ibuk Samitra untuk mengantar jemput Samitra ke dan dari sekolah. Samitra sekarang bukan lagi anggota PAUD. Ia sudah berstatus anak TK. Kegiatan di sekolahnya masih masa perkenalakan lingkungan belajar. Aktifitas hanya berkutat bermain seluncuran, bernyanyi, berdoa, atau mengasihani anak yang menangis karena pengantarnya tidak tinggal. Semuanya selesai kurang dari dua jam.

Untungnya Samitra tidak menawarkan drama harus ditunggu sampai jam sekolah selesai. Kejauhan jika harus pulang ke rumah dan nanti sebelum pukul sembilan harus menjemput lagi, dan sekarang sudah pukul tujuh lebih. Saya berangkat dari rumah dengan outfit lari. Sudah hampir sebulan saya tidak lari pagi.

Semakin panas dan tembus 5K, saya selesai. Samitra juga sudah rampung bersenang-senang di sekolah. Samitra kalau di rumah tidak bisa kalau kering dari makanan. Harus selalu sedia makanan ringan. Sebelum naik ke atas motor, ia meminta untuk beli kue dulu di warung dekat sekolahnya. Katanya mau makan puding telur.

Lapar mata akhirnya saya ikut ambil ini, ambil itu. Manis dan asin terkumpul di dalam wadah plastik. Samitra tetap pada komitmennya hanya pada puding telur. Ia tidak mau yang lain. Padahal ada donat kampung dan roti cokelat kegemarannya. Di kepala estimasi biaya tentu akan di atas 15k. Namun, begitu mbak penjual menyebut angka ternyata meleset dari pagu yang sudah saya perkirakan. Hanya 12 ribu rupiah untuk delapan biji kue. Berarti rata-rata harga kuenya ada di kisaran 1.500 rupiah.

Di sepanjang perjalanan pulang saya sudah bersiasat untuk meracik kopi di dalam gelas besar. Pokoknya tahan sampai sore. Kemudian dipungkasi dengan kue-kue yang baru saja saya beli ini. Terakhir, tentu saja, membuat tulisan ini.

Jogja, Juli 2023